Kamis, 28 Maret 2013

cara menghadapi bullying di sekolah


Adakah anak-anak kita yang bebas dari bullying hari ini? Adakah tempat di mana lingkungan sama sekali bersih dari tindakan bullying? Adakah anak-anak kita yang sama sekali tidak pernah mengalami SALAH SATU perlakuan berikut: dituduh, difitnah, sering disalahkan, terlalu banyak dikritik dengan tajam dan menyakitkan, dijuluki dengan julkan negatif (labelling), dilecehkan, dibentak, dihina? Atau yang berbentuk fisik: dipukul, dijewer, dicubit, ditinju, didorong, ditendang, ditengkas, dijitak, didorong kepala, ditarik alis mata, dilempar penghapus, kapur, sepatu, sapu dan buku, dijemur di panas atau hujan, disuruh lari, push up, merangkak, berdiri di depan kelas, dikompas/memalak, diplonco/diospek?

 

Bullying merupakan salah satu tindak kekerasan yang dapat terjadi kepada siapa pun dan di mana pun, ini dapat terjadi dari atasan kepada bawahan, antara karyawan dengan karyawan, dari kepala sekolah kepada guru, antarguru, guru kepada murid dan antara murid dengan murid.

Jika terjadi pada murid di sekolah ini makin parah, sebab ternyata jika Anda komunikasi dengan guru-guru di sekolah, banyak dari mereka tidak menyadari hal ini terjadi di luar kelas pembelajaran mereka. Akibat kurang menyadari dampak negatif tersebut, para guru tidak secara efektif mengatasi masalah bullying di sekolah. Bahkan, ada kalanya para guru juga melakukan bullying pada siswa dalam rangka mendidik dan menegakkan disiplin (disiplin salah kaprah).

Tanyalah pada laki-laki dewasa hari ini saat mereka sekolah di waktu kecil dulu, sebagaimana saya mengalaminya, sebagian besar kita waktu sekolah dulu, apalagi yang laki-laki, sepertinya pernah mengalami salah satu tindakan berikut ini entah dari sesama murid atau guru: dipukul, dijewer, dicubit, ditinju, didorong, ditendang, ditengkas, dijitak, didorong kepala, ditarik alis mata, dilempar penghapus, kapur, sepatu, sapu dan buku, dijemur di panas atau hujan, disuruh lari, push up, merangkak, berdiri di depan kelas, dikompas/memalak, diplonco/diospek.

Atau yang berbentuk psikologis kalimat yang mengintimidasi, mempermalukan atau secara verbal berupa: dituduh, difitnah, sering disalahkan, terlalu banyak dikritik dengan tajam dan menyakitkan, dijuluki dengan julkan negatif (labelling), dilecehkan, dibentak, dihina. 

Celakannya, sebagian besar guru hampir tidak tahu kejadian ini. Padahal apa yang terjadi di luar kelas pembelajaran ini bisa berdampak besar buat perkembangan mental seorang anak dan bisa merusak semua hal yang sudah diajarkan di dalam kelas.

Akibat orang dewasa (guru) juga mendiamkan, pada sesama teman-teman murid pun (peer group) menjadi cenderung demikian. Dalam setiap kejadian bullying biasanya ada orang  yang menjadi korban, pelaku dan ‘bystander’ (siswa lain yang melihat atau berada di lokasi pada saat bullying terjadi). Bystander adalah  orang yang mungkin memberi semangat kepada pelaku bullying, berada di sekitar tempat kejadian dan hanya menonton, atau pergi menjauh dari tempat kejadian. Hal ini tidak menolong si korban, atau menghentikan terjadinya peristiwa tersebut.

Apakah solusinya berarti kita harus ‘melarikan diri” dari itu semua? Pindah sekolah, pesantren, dan lain-lain? Pertanyaannya, apakah dijamin bahwa di pesantren dan di sekolah lain anak-anak juga tidak akan mendapatkan hal yang sama? Seperti aduan seorang ibu berikut ini:

“Abah, salam silaturahim. Saya pernah ikut PSPA yang di gedung Pos jl. Banda. Ingin share nih, saya punya 3 anak. yang pertama  lak-laki 9 tahun kelas 3, kedua perempuan usia 6 dan ketiga laki-laki 2,5 thn.

Yang cukup menjadi bahan pembelajaran saya adalah dalam menghadapi anak sulung saya.  Saat masuk kelas 1 SD usianya 7 tahun dengan asumsi biar lebih matang. Alhamdulillah di kelas 1 secara akademik dia masuk 3 besar. mulai kelas 2 terlihat dalam interaksi dengan teman-temannya sering terjadi konflik.

Fisik anak saya termasuk kecil dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Mulailah anak saya menyatakan ketidakbetahannya di sekolah. Saat anak cerita pada saya apa yang dialaminya di sekolah, tentu saja saya sebagai ibunya mendengarkan keluhannya. Tapi saya coba konfirmasi dengan gurunya, hal itu berlanjut sampai dia sekarang kelas 3. Saat saya konfrm ke gurunya, terkadang gurunya gak tahu apa yang terjadi, karena boleh jadi kejadiannya saat tidak dalam pengawasan gurunya.

Kekhawatiran saya anak saya jadi korban bullying, terus terang saya awalnya mengajarkan pada anak saya kalau bertemu dengan temannya yang suka ganggu,  tinggalkan jangan dilayani atau lapor ke guru. Karena kalau dilawan anak saya secara fisik lebih kecil. Kondisi anak saya saat ini merasa senantiasa jadi tertuduh. Apapun kejadiannya, dia yang senantiasa disalahkan termasuk dari gurunya. Mohon bantuan saran dari Abah, apa yang harus saya lakukan. Rencananya saya sudah sepakat dengan suami untuk memindahkan sekolah ke salah satu pesantren di Ciamis, dan anaknya juga mau. Apakah ini keputusan yang tepat?”

Rasanya, jika definsi bullying seperti di atas, sepertinya tidak ada satu tempat pun di dunia ini yang bebas sama sekali dari potensi bullying. Hatta di pesantren sekali pun, dalam skala tertentu, saya yang juga pernah mengalami pesantren, sedikit banyak juga mengalaminya. Meski tentu saja ini hanya generalisasi.

Karena tidak ada jaminan tadi, sebagian orangtua akhirnya saking tidak percayanya dengan sistem pendidikan formal dan nonformal seperti itu memutuskan untuk menyekolahkan anaknya dengan pendidikan informal di rumah. Apa yang kerennya disebut homeschooling. Ada banyak motif mengapa orangtua membuat homeschooling tentunya. Tapi ditengarai ini juga menjadi salah satu motif saja: kekhawatiran bullying yang tidak bisa dideteksi oleh guru dan pengelola sekolah yang berdampak negatif terhadap mental anak, selain tentu karena ketidakpuasan terhadap sistem pembelajaran di sekolah formal dan nonformal tadi. Ya kalau pun anak tidak mendapatkan bullying dari lingkungan belajar formal karena memutuskan homeschooling, tidak ada jaminan pula ia tidak mendapatkan bullying saat bersosialisasi dengan teman sepermainan.

Karena itu cara terbaik adalah bukan menghindari bullying atau lari dari kenyataan itu semua. Tetapi, bantu anak untuk berlatih menghadapi itu semua. Suka atau tidak suka. Tahapannya dapat dilakukan sebagai berikut:

Pertama, BICARAKAN, mau pindah sekolah, ke pesantren atau tetap di sekolah yang sama, orangtua wajib mengajarkan anak untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk “mengatakan” TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan. 

Latih anak kita untuk menyatakan ketidaksukaan, ketidaksetujuan dan penolakan melalui ucapan. "Jika teman kamu hendak menyakiti kamu ajak teman kamu bicara bahwa itu bisa membuat kamu sakit. Seperti 'nggak boleh begitu, itu membuat aku sakit' atau 'berhenti, itu sakit!' ” Atau kalimat lain semacam ini yang intinya mengungkapkan apa yang dirasakannya, apa yang dipikirkannya, apa yang ditolaknya. Kemampuan ini dapat dimulai dalam kehidupan keseharian kita sebenarnya, dalam hal-hal yang sederhana, misalnya saat anak-anak kita ‘berantem’ dengan kakak atau adiknya.  Kemampuan ini dalam bahasa kerennya sering disebut kemampuan asertif.

Anak-anak lain terus menyakiti anak kita salah satu sebabnya karena yang disakiti terus diam dan tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya. Saat mainan hendak diambil paksa temannya, latih anak kita untuk mengatakan “tidak”.  Ini harus terus dilakukan secara terus menerus, tidak sekali dua kali.

Kedua, jika bullying itu hanya berupa intimidasi verbal, orangtua atau sekolah rasanya juga akan kesulitan untuk menindaknya karna ‘alat bukti’ memang hampir tak bisa terlihat secara fisik.  Karena itu untuk mengatasi bullying verbal tersebut anak-anak juga bisa dilatih kemampuan beladiri verbal dan kemampuan mengendalikan pikiran. Kemampuan ini semacam membalikkan serangan kalimat negatif menjadi dimaknai lebih positif oleh anak-anak.

Tentu saja ini tidak mudah, sebab anak-anak abstraksi berpikirnya sangat berbeda dengan orang dewasa. Tetapi bukan berarti tidak mungkin anak-anak dapat memaknai kalimat negatif menjadi kalimat positif dengan latihan yang dimbimbing orangtua. Caranya?  Orangtua dapat mengumpulkan kosakata-kosakata bullying tersebut dari curhat anak saat mereka sedih, kesal setelah diserang secara verbal oleh temannya, lalu bantu anak meng-counternya dengan kalimat-kalimat lain lebih positif.

Contoh beladiri verbal dan kemampuan mengendalikan pikiran itu seperti berikut:

B: Pelaku Bullying 
A: Anak Korban bullying

B : Hei gendut...
A: Hai juga.. kurus.

B: Badanmu kayak gajah. Gede, hahaha
A: Iya tandanya aku tidak kekurangan makan, berkecukupan, alhamdulillah, hahaha

B: ih.. pede banget.. nggak tau malu!
A: ya dong pede.. aku kan punya banyak kelebihan

B: Iya, kelebihan berat badan! Hahaha
A: Daripada kekurangan gizi, kurus.. hahaha

B: Hey.. kamu anak baru di sini, jangan belagu.
A : Itu pendapatmu..

B : Dasar jelek
A: Menurut orangtuaku, aku cakep

B: Iya menurut kami, kamu kayak monyet, hahah
A: Ah kita kan boleh berbeda pendapat

B: Botak barakataakk.. hahay ada kelereng leewat!
A: kelereng manis.. hhaha

B: ih malu-maluin
A: Itu sih menurut kamu

B: emang bener kan?
A: itu sih menurut kamu

B: congek lu!
A: itu sih menurut kamu

B: hey bodoh banget sih
A: Itu sih menurut kamu

(sesuatu yang ditanggapi berulang-ulang dengan tenang dapat membuat pelaku bullying akan bosan dengan sendirinya dan malah bukan korbany bullying yang kesal, tapi si pelakunya sendiri. Jika mengarah ke tindakan fisik, lihat tahapan nomor empat)

Tapi ini sekadar contoh, Anda bisa mengkreasikannya dalam bentuk kosakata lain. Wah jadi orangtua harus kreatif dong? Lah kata siapa jadi orangtua tidak harus kreatif? Itu ujiannya punya anak kan, yaitu mau tidak kita menyediakan waktu, bersusah-susah mikir berkreasi menghadapi perilaku-perilaku atau kejadian-kejadian pada anak kita yang terus berubah? Tapi tenang, kabar gembiranya, semua orangtua sudah diberikan potensi kreatifitas kok. Insya Allah kita akan menemukannya sendiri kalau giat berlatih.

Ketiga, sedapat mungkin anak dilatih untuk turun tangan menyelesaikan masalah, bukan orangtua yang menyelesaikan masalah anak. Jika terus mendapatkan intimidasi berulang, lalu kemudian yang mengintimidasi sudah sering diajak bicara tapi tidak juga menghentikkan aksi bullyingnya, ajarkan anak untuk LAWAN!

Melawan artinya kita tidak diam saat orang lain menyakiti kita. Melawan artinya anak kita harus dilatih untuk menegakkan kebenaran. Melawan artinya kita membela diri sebelum orang lain menyakiti kita. Melawan tidak berarti harus melukai orang lain.  “Jika adik kamu mau mukul, kamu pegang tangan adik, jangan biarkan dia memukul kamu” atau “Jika teman kamu hendak mendorong kamu, kamu harus menghindar atau jika dia terus memburu kamu, kamu boleh mendorong dia duluan. Jangan pernah biarkan teman kamu untuk melukai kamu.”

Karena itu, jika memang lingkungan anak di sekolah rentan dengan tindakan-tindakan seperti itu, demi keselamatan anak, anak juga boleh dibekali dengan kemampuan-kemampuan belda diri dan lain-lain. Ikut les karate, silat, taekwondo, dan lain-lain. Bukan untuk kekerasan dibalas kekerasan tetapi sekadar untuk mendapat kemampuan bekal membela diri dalam kedaan darurat.

Tubuh lebih kecil seharusnya bukan penghalang. Terlalu sering kita melihat anak-anak kecil juga mengintimidasi anak-anak yang tubuhnya lebih besar, lebih gembrot, lebih gendut dan lain-lain. Apa yang membedakan? Kekuatan mental anak itu sendiri. Karena itu kuatkan mental anak senantiasa. Salah satu jalannya dengan meng-updgrade sisi kepercayaan diri anak dari segi-segi bela diri tadi atau dari keunggulan anak yang dia miliki dari yang lain misalnya tentang sepakbolanya, prestasi akademiknya, dan lain-lain. 

Keempat, jika anak tak mampu melawan, latih anak untuk bertindak LAPORKAN kepada pihak-pihak yang berwenang, guru, orangtua, kepala sekolah dan lain-lain. Jika memang ini pernah terjadi, apalagi sering, orangtua dapat membuat aduan yang serius kepada pengelola sekolah, terutama leader di sekolah yaitu kepala sekolah dan bukan hanya pada gurunya. Tunjukkan fakta-faktanya atau perubahan negatif pada perilaku anak akibat bullying terjadi. Apalagi jika menyangkut bullying fisik. Jika ‘hanya’ bullying verbal dan yang tidak berbentuk fisik, kita akan sulit membuat aduan ini. Tapi jika sudah berbentuk fisik, orangtua boleh tidak tinggal diam dan harus proaktif untuk membantu sekolah mengatasi hal ini.

Sekolah harus dibuat ‘aware’ tentang hal ini dan bukan malah menganggap biasa-biasa saja kejadian seperti ini. Sekali lagi ini bisa berdampat negatif yang sangat hebat pada diri anak itu sendiri. Jika sekolah tidak menangani ini dengan serius barulah kemudian kita boleh melangkah kepada tindakan memindahkan anak sekolah.

Kelima, Jika anak belum mampu mengatasi dengan banyak sebab selain karena tubuhnya lebih kecil dan lain-lain dan sekolah  atau pihak yang berwenang mendapatkan laporan, ternyata belum juga menindak anak-anak pelaku bullying, bantu anak mengatasi itu dengan cara kita ikut turun tangan. Tapi turun tangan bukanlah dengan membentak, memarahi anak yang sudah melakukan bullying pada anak.

Munkgin ini tidak ideal, karena ada intervensi dari orang dewasa, bukan anak yang menyelesaikannya. Tetapi, ini jauh lebih baik daripada terus-terusan mendiamkan anak kita jadi korban bullying bukan?

Lalu bagaimana caranya? Ajak anak-anak yang sudah melakukan itu bekerjasama, dekati mereka. Saya yakin anak-anak itu yang melakukan bullying ini sebenarnya sejatinya bukanlah penjahat betulan atau bukan pula preman beneran. Mereka hanya ‘tersesat’ perilakunya.

Mengapa ada anak-anak yang melakukan bullying? Biasanya itu karena ada masalah dengan perilaku mereka sendiri. Apalagi dikombinasikan dengan perlakuan negatif yang ia terima dari orangtuanya atau masalah yang ia dapatkan di keluarganya, klop deh! Motif lain yang sering ditemukan adalah bahwa pelaku bullying adalah pelaku yang biasanya memiliki kemampuan mempengaruhi anak lain yang baik (leadership) tapi mereka salah gunakan dengan melakukan bullying. Pelaku bullying semacam melakukan ujicoba atas kemampaun kepemimpinannya.

Saya tidak becanda, tapi insya Allah ini sangat efektif. Ajak anak-anak pelaku bullying bicara, ngobrol. Bukan untuk nuduh, menyalahkan atau dicerahami. Ajak main, undang ke rumah. Ajak nonton bareng film anak-anak (dengan seizin orangtuannya tentu). Buat kegiatan seru bersama dengan anak kita yang menjadi korban. Inti dari semua ini adalah untuk membangun kedekatan dengan mereka. Jika ‘preman’ sekolah ini bisa kita tundukkan, maka sebaliknya malah sangat produktif dia akan menjadi pelindung anak-anak pelaku korban bullying.

Buktikkan! Tentu tanpa harus terus-terusan anak-anak ini harus memberikan semacam ‘setoran’ terus-terusan pada pelaku. Pendekatan-pendekatan yang membuat pelaku bullying ini diperhatikan ini sangat jauh lebih dari cukup. Ini bisa menggantikan dahaga dia akan kasih sayang dan perhatian yang mungkin ia tidak dapatkan dari keluarganya.  Seperti kita orang dewasa, jika kita sudah dekat dengan seseorang secara emosional, rasanya tidak enak untuk merugikan orang yang sudah dekat secara emosional dengan kita tadi. Apatah lagi anak-anak, yang secara fitrah sebetulnya mereka jauh dari rasa dendam, ingin melukai terus-terusan temannya dan lain-lain.

Jika lima tahapan ini belum juga berhasil  atau jika memang situasi lingkungannya sudah pada tingkat rentan bullying yang sangat berat, maka saya setuju jika tindakan terakhir adalah ‘hijrah’ mencari tempat yang lebih baik. Apakah ke lingkungan baru, ke komplek tempat tinggal baru, atau sekolah baru, atau yang lain.

Yang jelas jika ke pesantren, berkaitan dengan anak usianya masih SD, Anda boleh tidak setuju dengan saya, saya termasuk yang tidak setuju anak SD sudah dipesantrenkan jauh dari orangtua. Kenapa? Anak-anak ini mungkin jadi hafal Qur’an banyak, ilmu agamanya hebat, tetapi siapa yang mau mendengarkan curahan hatinya saat ia sedih, capek, lelah, marah? Apakah ustadz dan ustadzah siap dan memiliki waktu setiap hari untuk mendengarkan ini semua pada anaknya?

Anak-anak ini belum matang secara emosional maka dia masih membutuhkan “asupan gizi” emosi dari orangtuanya, yang tidak bisa digantikan oleh siapapun, kecuali ia benar-benar yatim piatu betulan. Rasulullah meski yatim piatu, tapi secara privat ada yang mendengar keluh kesahnya, mulai dari ibu susuan Halimah As-Sya'diyah,lalu ibu kandungnya ibunda aminah, ketika ibunya meninggal lalu kakeknya, ketika kakeknya meninggal lalu pamannya, lalu istrinya! Meski idealnya anak-anak SMA sudah dapat dikirimkan ke sekolah berasrama, sebenarnya anak SMP juga sudah lebih baik dibandingkan anak usia SD dikrimkan ke sekolah berasrama. Mengenai sekolah berasrama ini mudah-mudahan bisa saya bahas dalam tulisan yang lai

Tidak ada komentar: